Sabtu, 04 November 2017

Kembangkan Sekolah Inklusi, Sekolah di Jogja Banyak Menolak ABK



Kembangkan Sekolah Inklusi, Sekolah di Jogja Banyak Menolak ABK

Yogyakarta – Yogyakarta adalah kota modern yang tentunya terdapat fasilitas-fasilitas masyarakat yang maju dan beragam seperti fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan di Jogja ini sangat banyak pilihan yang menjanjikan baik dari sekolah dasar, sekolah menengah hingga perguruan tinggi. Khususnya dalam hal sekolah dasar dan sekolah menengah, di Jogja sedang digiatkan untuk mengembangkan sekolah inklusi sehingga bisa menerima siswa yang berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan yang sama. Tentu hal ini akan menyebabkan bertambahnya sarana dan prasarana yang mendukung  dan juga ketersediaan Guru Pendamping Khusus (GPK), namun hal ini dapat ditangani oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY dan lembaga lain yang berwenang.
Karena memang diharapkan menjadi sekolah inklusi, sekolah-sekolah regular di Jogja banyak yang mendaftarkan diri untuk memiliki label sekolah inklusi ini. Karena bagi sekolah inklusi, tentunya akan memiliki sarana dan prasarana yang lebih serta memungkinkan untuk mendapat keuntungan bagi pihak sekolah. Di sudut pandang lain, dengan bertambahnya minat sekolah regular menjadi sekolah inklusi ini tentunya direspon positif oleh pemerintah dan juga masyarakat khususnya yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Karena Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) memang sudah seharusnya memiliki hak yang sama dengan Anak Tidak Berkebutuhan Khusus (ATBK) dalam segala bidang. Oleh sebab dikembangkannya sekolah inklusi, dalam memperoleh pendidikan mereka (ABK) tidak harus bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) tetapi kini bisa masuk di sekolah inklusi. Tentunya ini
dapat menumbuhkan semangat bagi ABK karena dianggap sama dan dapat bersekolah di sekolah tempat teman-temannya (ATBK) bersekolah.
Jogja juga direncanakan menjadi pusat pendidikan inklusi (pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus di sekolah regular) di kawasan ASEAN, sebagaimana Head Of Social and Human Sciences Unesco ASEAN, Charif Ahmimed melakukan kerja sama dengan pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta soal pengembangan pendidikan inklusi tersebut. Hingga tahun 2016 saja, penetapan sekolah inklusi Provinsi DIY oleh Dikpora sudah mencapai 131 sekolah baik dari jenjang SD, SMP dan SMA. Tentu bagi sekolah-sekolah inklusi, membutuhkan sarana tambahan yang dapat mendukung para ABK agar dapat nyaman belajar. Seperti kurikulum yang harus diseesuaikan, adanya jalan yang memadai bagi kursi roda dan tunanetra, dan yang terpenting adalah kesediaan guru pendamping khusus yang memadai.
Melihat peran pemerintah Jogja mengembangkan sekolah inklusi tersebut seharusnya pihak sekolah inklusi dapat mendukung lancarnya program ini. Akan tetapi masalah yang akhir-akhir ini sering terjadi adalah sekolah yang hanya melabelkan diri menjadi sekolah inklusi dan meraup keuntungan saja, bahkan ada dari mereka (sekolah inklusi) yang menolak ABK untuk bersekolah di instansinya.
Seperti halnya yang disampaikan oleh salah satu orang tua ABK pada blog pribadinya (www.autisfamily.com), ia merasa kecewa dengan layanan salah suatu sekolah inklusi X di Jogja tempat anaknya di didik.  Ia menganggap sekolah inklusi hanyalah sebuah label saja, malah sekolah tersebut keberatan memiliki anak didik inklusi dengan berbagai alasan, seperti belum ada Guru Pendamping Khusus dan alasan lainnya yang seharusnya sudah sekolah inklusi miliki. Dari pengalamannya, sekolah inklusi tersebut tidak sepenuh hati dalam melakukan pendidikan dan memberikan motivasi pada ABK khususnya, bahkan ABK tidak diperkenankan mengikuti UNAS pada saat itu dengan alasan ABK tidak mampu mengikuti UNAS. Bukankah itu merupakan diskriminasi?. Menurutnya, sekolah tersebut berkedok bisnis dengan mengatasnamakan pendidikan inklusi dan agama.
Tidak hanya kasus yang demikian, keluhan dari orang tua ABK lain juga didengar mengenai sekolah inklusi lain di Jogja yang ketika ABK hendak mendaftar di sekolah tersebut, pihak sekolah tidak menolak secara mentah-mentah karena label inklusinya akan tetapi menyarankan agar ABK dimasukkan ke SLB saja agar lebih terperhatikan. Yang lebih miris lagi, ada juga disebutkan sekolah inklusi Jogja yang syarat masuk bagi ABK sangatlah rumit. ABK diminta harus menjalani serangkaian tes di sebuat pusat tumbuh kembang yang sudah ditunjuk dengan sejumlah biaya (mungkin memang sudah saling bekerja sama). Setelah hasil tes keluar, sekolah tersebut menolak ABK dengan alasan terlalu tua. Logiskah semua di atas?. Ternyata peran pemerintah untuk memajukan pendidikan serta menegakkan hak-hak yang sama bagi anak belum berjalan semulus yang pemerintah kira. Pemerintah seharusnya lebih mengawasi instansi sekolah yang terkait, apakah ada korupsi atau tidak di dalamnya, karena hal yang demikian tidak hanya mutlak merugikan peserta didik ABK dan orang tuanya saja, akan tetapi pemerintah dan juga citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar (Ninik W).


0 komentar:

Posting Komentar