Kembangkan
Sekolah Inklusi, Sekolah di Jogja Banyak Menolak ABK
Yogyakarta – Yogyakarta
adalah kota modern yang tentunya terdapat fasilitas-fasilitas masyarakat yang
maju dan beragam seperti fasilitas pendidikan. Fasilitas pendidikan di Jogja
ini sangat banyak pilihan yang menjanjikan baik dari sekolah dasar, sekolah
menengah hingga perguruan tinggi. Khususnya dalam hal sekolah dasar dan sekolah
menengah, di Jogja sedang digiatkan untuk mengembangkan sekolah inklusi
sehingga bisa menerima siswa yang berkebutuhan khusus untuk mendapatkan
pendidikan yang sama. Tentu hal ini akan menyebabkan bertambahnya sarana dan
prasarana yang mendukung dan juga
ketersediaan Guru Pendamping Khusus (GPK), namun hal ini dapat ditangani oleh
Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) DIY dan lembaga lain yang
berwenang.
Karena memang
diharapkan menjadi sekolah inklusi, sekolah-sekolah regular di Jogja banyak
yang mendaftarkan diri untuk memiliki label sekolah inklusi ini. Karena
bagi sekolah inklusi, tentunya akan memiliki sarana dan prasarana yang lebih
serta memungkinkan untuk mendapat keuntungan bagi pihak sekolah. Di sudut
pandang lain, dengan bertambahnya minat sekolah regular menjadi sekolah inklusi
ini tentunya direspon positif oleh pemerintah dan juga masyarakat khususnya
yang memiliki anak berkebutuhan khusus. Karena Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
memang sudah seharusnya memiliki hak yang sama dengan Anak Tidak Berkebutuhan
Khusus (ATBK) dalam segala bidang. Oleh sebab dikembangkannya sekolah inklusi,
dalam memperoleh pendidikan mereka (ABK) tidak harus bersekolah di Sekolah Luar
Biasa (SLB) tetapi kini bisa masuk di sekolah inklusi. Tentunya ini
dapat
menumbuhkan semangat bagi ABK karena dianggap sama dan dapat bersekolah di
sekolah tempat teman-temannya (ATBK) bersekolah.
Jogja juga
direncanakan menjadi pusat pendidikan inklusi (pendidikan bagi anak yang
berkebutuhan khusus di sekolah regular) di kawasan ASEAN, sebagaimana Head
Of Social and Human Sciences Unesco ASEAN, Charif Ahmimed melakukan kerja
sama dengan pemerintah kota (Pemkot) Yogyakarta soal pengembangan pendidikan
inklusi tersebut. Hingga tahun 2016 saja, penetapan sekolah inklusi Provinsi
DIY oleh Dikpora sudah mencapai 131 sekolah baik dari jenjang SD, SMP dan SMA.
Tentu bagi sekolah-sekolah inklusi, membutuhkan sarana tambahan yang dapat
mendukung para ABK agar dapat nyaman belajar. Seperti kurikulum yang harus
diseesuaikan, adanya jalan yang memadai bagi kursi roda dan tunanetra, dan yang
terpenting adalah kesediaan guru pendamping khusus yang memadai.
Melihat peran
pemerintah Jogja mengembangkan sekolah inklusi tersebut seharusnya pihak
sekolah inklusi dapat mendukung lancarnya program ini. Akan tetapi masalah yang
akhir-akhir ini sering terjadi adalah sekolah yang hanya melabelkan diri
menjadi sekolah inklusi dan meraup keuntungan saja, bahkan ada dari mereka
(sekolah inklusi) yang menolak ABK untuk bersekolah di instansinya.
Seperti halnya
yang disampaikan oleh salah satu orang tua ABK pada blog pribadinya
(www.autisfamily.com), ia merasa kecewa dengan layanan salah suatu sekolah
inklusi X di Jogja tempat anaknya di didik. Ia menganggap sekolah inklusi hanyalah sebuah
label saja, malah sekolah tersebut keberatan memiliki anak didik inklusi dengan
berbagai alasan, seperti belum ada Guru Pendamping Khusus dan alasan lainnya
yang seharusnya sudah sekolah inklusi miliki. Dari pengalamannya, sekolah
inklusi tersebut tidak sepenuh hati dalam melakukan pendidikan dan memberikan
motivasi pada ABK khususnya, bahkan ABK tidak diperkenankan mengikuti UNAS pada
saat itu dengan alasan ABK tidak mampu mengikuti UNAS. Bukankah itu merupakan
diskriminasi?. Menurutnya, sekolah tersebut berkedok bisnis dengan
mengatasnamakan pendidikan inklusi dan agama.
Tidak hanya
kasus yang demikian, keluhan dari orang tua ABK lain juga didengar mengenai
sekolah inklusi lain di Jogja yang ketika ABK hendak mendaftar di sekolah
tersebut, pihak sekolah tidak menolak secara mentah-mentah karena label
inklusinya akan tetapi menyarankan agar ABK dimasukkan ke SLB saja agar lebih
terperhatikan. Yang lebih miris lagi, ada juga disebutkan sekolah inklusi Jogja
yang syarat masuk bagi ABK sangatlah rumit. ABK diminta harus menjalani
serangkaian tes di sebuat pusat tumbuh kembang yang sudah ditunjuk dengan
sejumlah biaya (mungkin memang sudah saling bekerja sama). Setelah hasil tes
keluar, sekolah tersebut menolak ABK dengan alasan terlalu tua. Logiskah semua
di atas?. Ternyata peran pemerintah untuk memajukan pendidikan serta menegakkan
hak-hak yang sama bagi anak belum berjalan semulus yang pemerintah kira.
Pemerintah seharusnya lebih mengawasi instansi sekolah yang terkait, apakah ada
korupsi atau tidak di dalamnya, karena hal yang demikian tidak hanya mutlak
merugikan peserta didik ABK dan orang tuanya saja, akan tetapi pemerintah dan
juga citra Yogyakarta sebagai Kota Pelajar (Ninik W).
0 komentar:
Posting Komentar